BAB I
PENDAHULUAN
Latar belakang
Rumah ibadah yang pertama kali dibangun untuk
manusia di permukaan bumi ini adalah Masjidil Haram. Rasulullah dalam haditsnya
menjelaskan: “Beliau pernah ditanyakan tentang masjid yang pertama dibangun
untuk manusia, maka beliau menjawab: pertama, Masjidil Haram; dan kedua adalah
Baitul Maqdis”.[1]
Masjidil Haram terletak di Bakkah atau sekarang
bernama Makkah, yang penuh keberkatan karena sekitar masjid itu terdapat banyak
pahala; bahkan nilai beribadah di Masjidil Haram sama dengan 100.000 kali lebih
besar daripada di masjid lain; demikian juga nilai ibadah di masjid Nabawi di
Madinah sama dengan 1000 kali lebih besar daripada di masjid lain; sedangkan
ibadah di Baitul Maqdis adalah 500 kali lebih besar daripada di masjid-masjid
lain. Karena itu, Rasulullah berpesan agar orang beriman mengadakan perjalanan
ke tiga masjid utama itu.
Masjidil Haram menjadi pusat perkumpulan umat
Islam se-dunia. Rumah ibadah ini merupakan sumber hidayah dan cahaya bagi
seluruh makhluk; dan sebagai kiblat umat Islam sedunia. Pada masa-masa awal
Rasulullah di Madinah, beliau berkiblat ke Baitul Maqdis di Palestina; dalam
proses perjalanan waktu beliaun terus berdoa agar Allah merubah arah kiblat ke
Masjidil Haram. Setelah 16 bulan di Madinah, akhirnya doa Rasulullah dikabulkan
dan beliau diperintahkan untuk merubah arah kiblat ke arah Masjidl Haram.
Sebaba itulah Masjidil Haram di Makkah menjadi hudan lil ‘alamin.
Di rumah antik (al-Bait al-‘Atiq) yang pertama
kali dibangun itu terdapat tanda-tanda atau bukti-bukti keagungan Allah dan
keberkatannya, yaitu pada terdapat maqam Nabi Ibrahim. Maqam Nabi Ibrahim di
sini adalah bekas tapak kakinya ketika menginjak di atas batu pada saat
menyusun batu-batu dalam pembuatan Ka’bah bersama putranya, Ismail. Batu yang
berbekas tapak kaki Nabi Ibrahim itu dapat disaksikan wujudnya di dekat Ka’bah;
dan setiap orang yang melakukan Thawaf, setelah selesai Thawaf, disunnahkan
melakukan shalat 2 (dua) raka’at di dekat atau di belakang Maqam Nabi Ibrahim
itu.
Di sekitar tanah haram (tanah suci yang
dihromati) itu merupakan kawasan yang penuh keamanan dan kedamaian. Karena di
tempat itu diharamkan melakukan permusuhan dan pembunuhan, dan peperangan.
Karena itu, siapa saja dari kalangan umat Islam yang memasuki kawasan itu
dijamin keamanannya. Selain itu, kenyamanan dan keamanan dapat juga dipahami
tidak dari segi fisik tetapi secara spiritual. Setiap orang yang menunaikan
ibadah haji pasti merasakan damai, tenang dan tenteram hati dan jiwanya berada
di Masjidil Haram itu. Ini merupakan keberkatan dan sekaligus hikmah yang dapat
dirasakan langsung, seperti yang disebut dalam tersebut.
Rumusan masalah
Dari latar belakang tersebut dapat kita ajukan
beberapa permasalahan mendasar mengenai haji, yaitu:
1.
Bagaiman perjalanan
sejarah di tetapkannya kewajaiban haji?,
2.
Bagaimana haji
dilaksanakan dan apa macam-macamnya?,serta
3.
Apa saja yang
diwajibkan dalam melaksanakan ibadah haji itu?.
Tujuan
Adapun
tujuan utama makalah ini di bahas adalah karena kebutuhan penyusun sendiri
penyusun sendiri yang mencakup :
1.
Pengetahuan, Penyusun
ingin mengetahui banyak hal tentang haji
2.
Do’a, dengan banyak
mempelajari tentang haji, semoga Allah memperkenankan penyusun untuk
melaksanakan ibadah haji ketanah suci
3.
Nilai, ini adalah
kebutuhan penyusun sebagai mahasiswa
BAB II
PEMBAHASAN
·
Sejarah Dan Syariat
Haji
Jika merunut sejarah ibadah
haji, terlihat bahwa sesungguhnya perintah pelaksanaan ibadah haji bagi
umat Islam cukup tua. Usianya setua dengan perintah yang lain seperti perintah shalat, puasa dan zakat. Sebuah riwayat tentang sejarah ibadah haji, menyebutkan bahwa Allah memerintahkan haji kepada
malaikat sebelum memerintahkan kepada Nabi Adam as. Allah juga
memerintahkan kepada malaikat untuk membangun Ka'bah di Mekkah. Malaikat
setelah itu diperintahkan untuk melakukan thawaf yaitu kegiatan
mengelilingi Ka'bah. Selama ini masyarakat secara doktrial lebih mengenal bahwa ibadah haji merupakan syariat
yang diwahyukan Allah swt. kepada Nabi Ibrahim as. yang
dilakukan secara turun temurun. Sejak Nabi Ismail as.
hingga Nabi Muhammad saw.
Kehidupan Keluarga Nabi Ibrahim
Sejarah ibadah haji terkait nilai historis kisah istri Nabi
Ibrahim as. yang bernama Sarah. Sebelum menikah dengan Sarah, Nabi
Ibrahim as. telah menikah dengan Hajar. Meskipun kerukunan
antara Nabi Ibrahim as. dengan Hajar cukup
terjamin hingga usia yang lanjut, namun ketiadaan buah hati hasil pernikahan
mereka menjadi cobaan tersendiri.
Atas inisiatif dan perantaraan Hajar, Nabi
Ibrahim as. menikah dengan Sarah. Sarah
awalnya adalah pembantu rumah tangga Nabi Ibrahim as. dengan Hajar.
Atas kekuasaan Allah swt., tak lama setelah menikah, Sarah hamil
yang membuat Hajar cemburu.
Atas perintah Allah swt, Nabi Ibrahim as.,
menghijrahkan Hajar juga Nabi Ismail as yang masih bayi dan baru
dilahirkan ke Mekkah. Suatu tempat di sebuah
dataran tandus yang pada masa itu masih belum berpenghuni. Sedangkan Nabi
Ibrahim as kembali ke Palestina menemui Sarah. Ketika meninggalkan
anak dan istrinya di bawah sebuah pohon, Nabi Ibrahim as berdoa
dengan menyebut nama Allah swt., menitipkan keselamatan Hajar
dan Nabi Ismail as di bawah perlindungan Allah swt.
Antara Shafa dan Marwah
Haji merupakan ibadah yang berlatar belakang
kemanusiaan untuk memperingati kesabaran dan juga ketaatan Hajar. Dalam
sejarah ibadah haji, ketaatan dan kesabaran Hajar memang patut
diteladani. Kesabaran Hajar sangat luar biasa. Ia bersedia hidup di daerah yang
tandus, tak berpenghuni, serta memiliki perbekalan yang ala kadarnya. Karena
kurangnya perbekalan bahan makanan, untuk menghidupi diri dan anaknya, ia
bersusah-payah, berlari-lari dari bukit Shafa ke bukit Marwah untuk mencari air bagi sumber kehidupan
mereka.
Saat air tak ada, Hajar tak bisa menyusui
Nabi Ismail as. Hajar menaiki bukit Shafa mencari air demi untuk
putranya dan berharap ada kafilah (pedagang) sedang lewat yang dapat membantu.
Ketika ia tak menemukan seorangpun yang lewat, Hajar berjalan menuruni
bukit, lembah, dan mendaki ke bukit Marwah.
Ia berusaha melihat ke sekitar namun tak
menemukan apa-apa. Tujuh kali bolak-balik dilakukan , naik turun bukit Shafa ke
bukit Marwah. Tanpa disangka, keluarlah air yang berlimpah menyembur tanpa
henti dari sebuah sumber yang sangat besar di dekat tempat Nabi Ismail as. ditinggalkan. Air itu akhirnya dikenal
saat ini dengan nama air zamzam. Dan sumber air itu dinamakan sumur
zamzam.Rangkaian peristiwa inilah yang mendasari sa'i, sebuah
prosesi ibadah haji.
berdasarkan cerita sejarah ibadah haji yang
sudah dibeberkan di atas, haji adalah peristiwa memperingati perjuangan hajar
dalam mematuhi perintah Allah meskipun harus bertahan dalam hidup sendirian dan
penuh cobaan keimanan di
mekkah.
Sekitar 15 abad yang lalu al-qur’an sudah mulai
menyebutkan bahwa manusia akan datang dari berbagai penjuru dunia untuk
melaksanakan ibadah haji ada di antara mereka yang berjalan kaki, ada yang
menggunakan kendaraan darat, laut dan udara. maka, tidak heran apabila zaman
kini manusia yang berbondong-bondong untuk berangkat haji dari berbagai penjuru
dunia tidak kurang dari 5 juta manusia setiap tahun berkumpul di makkah
al-mukarramah sebagai realisasi dari semangat atau pesan yang terdapat dalam
alquran tersebut. berhaji tidak boleh menyia-nyiakan waktu yang sangat berharga
itu untuk mengumpulkan pahala sebanyak-banyaknya. bahkan, selain amalan wajib
perlu ditambah dengan amalan sunnah, seperti melakukan thawaf setiap saat,
berzikir, berdoa, membaca al-qur’an, i’tikaf, dan amal-amal sunnah lainnya,
yang tergolong tathawwu’.
Penetapan Kewajiban Haji
Dalam syari’at Islam, ibadah haji pertama kali
diwajibkan pada tahun ke-6 hijriah; dan realisasinya baru dilakukan pada tahun
ke-9 atau ke-10 hijriah. Rasulullah sendiri melaksanakan ibadah haji pada tahun
ke-10 hijriah; walaupun sebelumnya, beliau sudah pernah melaksanakan ibadah
umrah bersama sahabatnya, pada tahun ke-7 dan ke-8 hijriah. Pada tahun ke-9
hijriah, Abu Bakar ditunjuk untuk memimpin jamaah haji. Dalam kesempatan haji itu, Abu
Bakar mengumumkan kepada orang-orang Musyrik, yang pada saat itu sedang
berhaji, agar mereka tidak mengerjakan ibadah haji lagi. Karena mereka dilarang
memasuki Masjidil Haram, dengan turunnya surat al-Taubah ayat 28. yang artinya
: “Hai orang-orang beriman, sesungguhnya orang-orang Musyrik itu adalah
najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram setelah tahun ini”
(al-Taubah: 28).[2]
·
Macam-Macam Haji
para fukaha telah sepakat bahwa haji itu ada
tiga macam, yaitu : tamattu’, ifrad
dan qiran.
Ø Haji tamattu’
Haji
tamattu’ terdiri dari umrah dan haji. Adapun bentuknya ialah sebagai berikut :
1.
Niat.
2.
Ihram dari salah
satu miqat
3.
Thawaf tujuh kali
sekitar ka’bah
4.
Dua rakaaat shalat
tawaf
5.
Sa’i antara safa
dan marwah
6.
Taqshir, yaitu memotong sedikit rambut atau kuku
Amalan-amalan tersebut secara keseluruhan
adalah umrah di mana ber-tamattu’ dengannya (yang bersambung) ke haji.
Sedangkan haji tamattu’ sendiri terdiri dari amalan-amalan tersebut
ditambah dengan amalan-amalan berikut :
1.
Melakukan ihram lagi
di makkah pada waktu yang memungkinkan baginya untuk dapat wukuf di arafah.
2.
Wukuf di arafah dari
waktu zuhur tanggal sembilan zulhijjah sampai maghrib.
3.
Wukuf di muzdalifah
pada hari idul Adha dari fajar sampai terbitnya matahari.
4.
Melempar jumrah di
mina
5.
Menyembelih hewan
kurban di mina pada hari id
6.
Bercukur atau memotong
kuku di mina
7.
Kembali ke makkah dan
tawaf haji
8.
Salat thawaf dua rakaat
9.
Sa’i antara saf dan
marwah
10.
Thawaf nisa’ dan
shalat thawaf nisa’
11.
Kembali ke mina untuk
mabit pada malam 11 dan 12
12.
Melempar dua jumrah
pada dua hari tersebut
Dengan demikian jelaslah bahwa di dalam haji tamattu’ itu
terdapat dua ihram, dua sa’i, dan tiga thawaf. Yitu yang pertama yang pertama
untuk umrah yang kedua untuk haji dan yang ketiga untuk nisa’ (QS al baqarah :
192)
Barangsiapa yang ingin berthaji tamattu’ dengan melakukan ibadah umrah
terlebih dahulu, kemudian tahallul yang waktunya dapat digunakan untuk taqarrub
kepada Allah sampai datang waktu haji, maka wajib baginya membayar dam (denda).
Haji sebagai tanda syukur kepada Allah yang telah memberikan kepadanya
kesempatan dan kemudahan dalam melaksanakan kedua ibadah Umrah dan haji; dan
dibolehkan memakan sebagian daging hewan dam yaitu berupa kurban yang
disembelih pada hari raya kurban. Barangsiapa tidak mampu menyembelih dam maka
diwajibkan kepadanya berpuasa selama 3 hari pada hari-hari ia melakukan ihram
di Makkah sampai batas hari Idul Adhha, dan wajib pula ia berpuasa selama 7
hari apabila telah kembali ke tanah airnya; dan itulah 10 hari yang sempurna
(’asyrah kamilah).
Ø Haji ifrad dan qiran
Orang yang melakukan haji ifrad harus berthawaf di ka’bah dan shalat dua
rakaat di maqam Ibrahim, sa’i antara safa dan marwah dan thawaf ziarah (yaitu
thawaf nisa’). Orang ini tidak
berkewajiban memotong kurban.
Adapun orang yang melakukan haji qiran adalah sama dengan haji ifrad
kecuali bahwa orang yang melakukan haji qiran harus membawa hewan kurban ketika
berihram dan menyembelihnya. Adapun haji ifrad tidak terdapat padanya hewan
kurban.
·
Wajib Haji
Wajib haji adalah sesuatu yang perlu dikerjakan, tetapi syahnya haji
tidak bergantung padanya, boleh diganti dengan dam (menyembelih binatang).
Adapun mengenai wajib haji yang di maksud adalah:
1.
Islam, orang kafir
tidak di perkenankan melakukan haji. Di hadapan orang-orang yahudi Rasulullah
bersabda, ”Allah telah mewajibkan atas Kaum Muslimin naik haji ke Baitullah”.
Orang Yahudi berkata: “Tidak diwajibkan kepada kami”. Mereka menolak
melaksanakan ibadah haji,sehingga jelaslah bahwa berhaji hanya diwajibkan
kepada umat Islam; sedangkan yang tidak mau berhaji berarti kafir. (HR. Sa’id
bin Manshur dari ‘Ikrimah).
2.
Berakal, orang yang
ingin melakukan ibadah haji adalah orang yang waras. Jika seorang yang gila
tersadar dari gilanya dalam waktu yang cukup baginya untuk melaksanakan ibadah
haji dengan sempurna maka haji tersebut wajib atasnya jika ia mampu. Tetapi
jika waktu sadar itu tidak cukup, maka kewajiban haji gugur darinya.
3.
Balig, yakni seseorang
yang sudah menginjak usia dewasa atau cukup umur.[3]
4.
istitha’ah
(kemampuan), menunaikan ibadah haji adalah wajib bagi setiap muslim yang sudah
memenuhi syarat yang ditetapkan dalam syara’. syarat yang paling utama dalam
kaitan dengan ibadah haji adalah istitha’ah. pengertian istitha’ah di sini
mencakup bekal dalam bentuk materi dan kemampuan fisik dan psikis, termasuk
biaya dan ilmu tentang manasik haji. mengabaikan kewajiban haji oleh orang yang
sudah memenuhi persyaratan tersebut dianggap sudah kafir. dalam kaitan ini
rasulullah mengingatkan yang artinya:
“Barangsiapa
yang sudah memiliki bekal dan kemampuan mengadakan perjalanan ke Baitullah
tetapi dia tidak mau menunaikan ibadah haji, maka ia mati dalam keadaan Yahudi
dan Nashrani“[4]
.
·
UMRAH
Umrah adalah
mengunjungi Baitullah (Ka’bah) untuk beribadah kepada Allah semata. Hukum umrah
ini ada kemungkinan wajib, dan ada kemungkinan hanya sunnat saja.
a.
Wajib, bagi orang yang baru pertama kali menunaikan
ibadah umrah bersamaan dengan manunaikan ibadah hajji yang pertama kali. Begitu
juaga orang yang sudah menuniakan ibadah hajji bersama umrah, kemudian
bernadzar akan umrah maka ia wajib menunaikan umrah untuk memenuhi nadzarnya.
b.
Sunnat, bagi orang yang sudah pernah melaksanakan umrah
yang pertama kali bersama dengan ibadah hajji.
A.
Rukun dan wajib umrah
B.
Rukun umrah
Rukun umrah itu terdiri dari lima macam, diantara lima macam rukun umrah
itu antara lain:
a)
Ihram dengan niat ihram untuk umrah
b)
Thawaf yaitu mengitari Ka’bah tujuh kali dengan niat
thawaf untuk umrah.
c)
Sa’i (berlari-larikecil antara Sofa dan Marwah)
d)
Tahalul (memotong rambut paling sedikit tiga helai)
e)
Tertib,artinya menertibkan rukun dengan mendahulukan
yang lebih dahulu, mengakhirkan yang akhir.
Wajib umrah ada dua macam:
a)
Ihram mulai dari miqat (hanya miqat makani saja).
b)
Meninggalkan semua hal yang diharamkan (dilarang dalam
ihram).
B. LARANGAN
DALAM UMRAH
Larangan khusus
bagi jamaah pria:
a.
Berpakaian dengan pakaian berjahit
b.
Mengenakan penutup kepala
Larangan khusus
bagi jamaah wanita:
a.
Menutupp muka
b.
Mengenakan kaos tangan
Larangan khusus
bagi jamaah pria dan wanita:
a.
Memotong kuku
b.
Memotong atau mencukur rambut, baik rambut di kepala
maupun di badan lain atau menyisir rambut yang dikhawatirkan rambut akan
rontok.
c.
Memakai wangi-wangian.
d.
Membunuh atau memburu binatang darat.
e.
Mencabut dan memotong pepohonan yang tumbuh di Tanah
Haram.
f.
Menikah, menjadi wakil nikah atau meminang.
g.
Bercumbu rayu yang dapat menimbulkan syahwat atau
senggama.
h.
Bertengkar, mencaci maki, mengumpat, berkata kotor dan
sejenisnya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Setiap orang Islam yang sudah memenuhi syarat
untuk menunaikan ibadah haji, maka diperintahkan agar menyempurnakan manasik
hajinya sesuai dengan yang dicontohkan oleh Rasulullah. Haji yang sempurna itu
adalah ibadah haji yang memenuhi syarat, rukun, dan wajib haji. Adapun syarat
diwajibkan haji adalah: 1) Islam; 2) Baligh; 3) Berakal; 4) Merdeka; dan 5)
Mampu (istitha’ah), baik secara ekonomi, fisik dan psikis, keamanan dalam
perjalanan maupun kemampuan dalam bidang manasik haji. Setiap orang yang akan
berhaji wajib memahami terlebih dahulu tata cara pelaksanaan ibadah haji dengan
sempurna.sebagai mana di jelaskan alqur’an:
“Mengerjakan ibadah haji adalah kewajiban
manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan (ke
Baitullah)”.(QS ali imran: 97)
Kebaikan-kebaikan yang dilakukan oleh jamaah
haji walaupun sedikit sangat berarti dan bernilai di sisi Allah. Bagian ayat
ini menegaskan bahwa setiap orang yang berhaji yang mau mengikuti peraturan
yang telah ditetapkan menjadi pahala dan kebaikan baginya. Ketika orang berhaji
tidak mengganggu orang lain, tidak berbuat hal-hal yang menyimpang dari ajaran
islam, dan tidak melakukan hubungan suami-isteri selama dalam ihram, serta
saling tolong menolong dan menjaga hubungan persaudaraan, perdamaian, dan
saling menghormati akan memperoleh ganjaran pahala dari allah; dan allah
senantiasa memantau apa saja yang dilakukan oleh para hamba-Nya.
Saran
Lakukanlah ibadah haji dan umrah dengan
sempurna yaitu dengan melakukan manasik dengan benar sesuai dengan yang
diajarkan oleh Rasulullah dengan niat yang ikhlas karena Allah, bukan untuk
mencari pujian atau kehormatan dari manusia; dan bukan pula berdagang mengejar
keuntungan duniawi. Walaupun pada hakikatnya berdagang sambil berthaji tidak
dilarang sejauh tidak dijadikan tujuan utama dan tidak melalaikan kewajiban
haji
Bekal yang paling utama yang perlu dipersiapkan
oleh para calon haji adalah taqwa. Karena itu, syarat wajib haji tidak
semata-mata diukur pada kemapanan atau kemampuan ekonomi dan kesehatan fisik,
tetapi justru yang paling penting adalah persiapan yang bersifat spiritual dan
mental, yaitu ketaqwaan. Karena, orang yang bertaqwa akan dapat melaksanakan
ibadah secara sempurna; dan beribadah semata-mata karena allah, bukan karena
manusia. Kriteria taqwa yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah ketaatan kepada
Allah dan Rasul-Nya dengan melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi
segala larangan-Nya. Orang bertaqwa dapat ditandai pada akhlaknya, ibadahnya,
dan perilakunya sehari-hari. Tentu saja sebelum menunaikan ibadah haji,
haruslah terlebih dahulu mempersiapkan diri dengan amal shalih: zakatnya sudah
ditunaikan dengan baik, shalatnya sudah mantap baik yang wajib maupun yang
sunat, akhlaknya semakin bagus, kecintaan kepada agama allah, dan hatinya
terpaut dengan dengan masjid, berjamaah, hubungan kemanusiaan (silaturrahim)
juga berjalan dengan indah. Demikian juga kepedulian sosial semakin meningkat.
Ciri-ciri inilah yang menjadi bekal terbaik bagi seseorang yang akan menunaikan
ibadah haji. Dengan begitu, pergi ke haji membawa taqwa; dan pulang pun membawa
taqwa, maka jadilah hajinya haji yang mabrur, yakni haji yang penuh kebaikan
yang oleh rasulullah disebutkan “tiada balasan yang lebih layak untuknya selain
surga.”
[1] HR Bukhari-Muslim.
Diriwayatkan juga bahwa jarak waktu antara pembangunan masjidil haram dengaan
baitul masqdis asdalah 40 tahun
[2] Ayat 28 surat al-taubah ini jika
dipandang dari sudut munasabah al-ayat bi al-ayat, maka ayat itu itu berfungsi
sebagai bayan taqrir (keterangan penopang) atau munasabah taqririyyah (korelasi
penegas) tentang himbauan Abu Bakar agar orang-orang musyrik tidak boleh
melaksanakan ibadah haji di Masjidil Haram, karena itu merupakan tempat suci
umat Islam. Dan sekaligus sebagai bayan tasyri’, di mana muncul hukum baru
tentang status orang-orang musyrik sebagai na’jis dan mereka tidak dibolehkan
memasuki Masjidil Haram.
[3] Sebagian besar para fuqaha mengatakan
bahwa ibadah anak yang mumayiz adalah sah, dalam arti bahwa dia diperintah
untuk beribadah dengan perintah yang bertaraf istihbab haqiqi dan bahwa dia
mendapat pahala dari ibadahnya itu. Dan adapunla yang mengatakan bahwa seorang
anak yang baru mencapai mumayiz adalah syah sekedar sebagai latihan saja.
[4] Ibid hal 136.
0 komentar:
Posting Komentar